Selasa, 06 Januari 2009

"Penyakit tak bernama" [part I]

I’m sick again.


Jika Andrea hirata menganalogikan sebuah penyakit dengan urutan angka, saya pikir, penyakit ini tak ada dalam urutan angka manapun tidak pula bisa di analogikan dalam nama jenis penyakit tertentu.


Bukan influenza, karena indikasi penyakit saya tidak mengarah kesitu. Mungkin bisa termasuk dalam jenis-jenis penyakit kegilaan, tapi sampai saat ini saya belum menemukan apa jenisnya, karena saya tidak autis(oh y..?he..), masih dalam keadaan sadar, masih bisa membedakan kenyataan dan khayal, dan yang terpenting saya masih ingat siapa nama saya..he..


Saya sebut saja” penyakit tak bernama”, indikasi utama, perasaan hampa yang menyerang sampai ke setiap sendi, perasaan hampa ini akan sangat menyakitkan ketika kita terbangun di pagi hari, indikasi lain perasaan sendiri walau berada di keramaian sekalipun kita tertawa. And the hardest thing is u don’t have anybody to share it, coz no one can understand it. Bisa disimpulkan bagian yang diserang penyakit ini adalah hati, karena “rasa” pada bagian itu mengalami keadaan yang susah dirinci dengan jelas. Pastinya, kita akan merasakan perasaan tertahan karena terlalu memendam “rasa”.


Penyebab utama dari penyakit ini tak pernah saya ketahui, karena dia tak pernah dipredeksi kapan akan datang, dan kapan pula akan hilang.


Selama berbulan-bulan ini, saya berasumsi telah sembuh total, karena lumrahny penyakit ini menghantui secara intens dan selama asumsi itu berlangsung, tak ad indikasi-indikasi yang mengarah. Bahagia?pasti. Mungkin suasana dan “sesuatu” yang baru membuat saya terbuai akan keindahannya ketika menghembuskan angin kehangatan dalam ruang hampa ini. Membawa saya bermimpi dan hidup dalam dunia imajiner.


Tapi, saat ini, seperti tidak mau mengakui, saya harus sadar, angin kehangatan ini hanya bertamu. Mengetuk pintu “rasa”, mengatakan maksud, dan tidak menetap. Maka, “rasa” sebagai tuan rumah harus menjalani kehidupan normalny kembali. Hampa. “sesuatu” itu bukan tidak ingin menetap, dy sudah berkeras diri untuk ingin mengerti dan menghembuskan kehangatan agar dapat menetap, tetapi “rasa” terlalu angkuh dan egois untuk membuka diri, sekalipun “sesuatu” itu berbisik tak ad batas antara bumi dan langit dalam ruang hati, utarakan semua sakit, terbanglah bebas, dan aku akan mengerti. “rasa” tetap dengan keangkuhannya yang setinggi langit yang tak ingin runtuh. “rasa” ini terlalu rumit, raga yang seharusnya mengerti pun, terlalu bingung menerima perintah otak yang juga lelah untuk berusaha paham . Kamu tak akan mengerti sayang. Bukan kamu yang akan mengerti.


Jadi, disini saya kembali dengan penyakit ini, terbangun setiap pagi dengan rasa sakit tak tertahan, sendiri walau tertawa, dan terjangkit insonimia akut. Saya benci mengeluh, tetapi saya juga lelah untuk berusaha tidak mengeluh. Mengapa “penyakit tak bernama” ini kembali berhasil melewati imun-imun tubuh ini?