Sabtu, 21 Februari 2009

Penyakit tak bernama [part II]

Sudah 1 bulan lebih berlalu, sejak penyakit tak bernama kembali menyerang imun-imun pertahanan tubuh. Seiring waktu yang berlalu, penyakit ini pun tetap tidak memperlihatkan keinginan untuk pergi. Sampai saat ini, saya sudah begitu bersabar menikmatinya. Menikmati setiap detik ketika saya tetap terbangun segar walau jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Menikmati 24 jam penuh saya tanpa bisa tertidur sama sekali. Menikmati setiap saat ketika kehampaan mulai menggerogoti secara perlahan relung-relung jiwa.

Tapi saat ini saya sudah d ambang batas kesabaran. Penyakit ini semakin angkuh dan sombong. Merasa dirinya tak terkalahkan, terus menerus melahap setiap bentuk perasaan positif tanpa membiarkan secuil kepositifan itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Saya benci terlihat lemah, terlihat seperti seonggok raga yang mulai kehilangan jiwanya. Tapi, siapa bilang saya tidak melakukan perlawanan?Insomnia saja masih setia menemani setiap malam saya, padahal setidaknya tidur bisa menjadi obat terbaik. Berbagai usaha telah teruji coba, but it doesn’t changes anything.Saya membutuhkan sesuatu untuk mengisi kembali rongga2 yang semakin melebar. Tak adakah sesuatu yang bisa menyentuh rasa ini, mengetuk pintunya, dan tersenyum bijak?

Atau setidakny saya tidak membutuhkan sesuatu itu, saya hanya ingin bisa menangis untuk mengeluarkan semua rasa yang meyesakkan. Saya tidak pernah tau, mengapa penyakit tak bernama ini selalu dan selalu kembali menyerang, tak pernah hilang, dan tak terprediksi. Tidak bisakah membiarkan kelenjar air mata memproduksi airny kembali, walau hanya setetes?Saya lelah dan bingung. Lelah menanggung rasa yang tidak saya mengerti dan bingung harus bagaimana. Marah pun, marah pada siapa atau apa?

Mungkin banyak yang berfikir, mengapa saya terlalu merumitkan kehidupan. Mengapa tidak mensederhanakanny saja?Bukankah 3x5 bisa menjadi 15, tanpa harus menjadikannya 3+3+3+3+3?

Permasalahannya, saya tidak menyederhanakan hidup saya, tapi menata hidup saya.

Saya tidak pernah menyalahkan jika memang tak ad yang mengerti. Hanya Tuhan yang mengerti, karena saya sendiri tidak mengerti diri saya sendiri. setidaknya, ajari saya bagaimana cara menangis, karna hati tak mampu lagi menanggung rasa abstrak ini and I'm going crazy.