Kamis, 09 April 2009

become a lawyer or a docter...?

siapa sangka, tema pidato untuk ujian akhir praktek b.inggris menjelma menjadi sebuah pilihan nyata dalam realita kehidupan.

Entah hanya sebuah kebetulan belaka atau memang Tuhan sudah menyiapkan skenario yang begitu rapih.

wer wist das? (Siapa yang tahu?)

Manusia dan pilihan.

dua kata yang saling mengidentifikasi.

yah..aber das ist der Kern.Pilihan yang membuat manusia itu spesial.

Kata spesial bagiku sering skali menimbulkan efek samping. Rasanya lucu skali jika membayangkan aku menjadi Tuhan, melihat manusia memilih. Atau jika dunia memang seperti apa yang diumpamakan orang-orang yunani kuno dengan dewa-dewa. Ironis skali. Dewa-dewa berpesta taruhan di istana kahyangan mereka dan manusia kebingungan akan pilihan di dunianya. Atau saja, saya selalu bingung bagaimana Darwin bisa menyimpulkan kera sebagai nenek moyang manusia dengan teori evolusinya. Mungkin Sang Pemberi itu menyayangkan kera yang berevolusi menjadi tampan dan cantik jika tidak diberi kelebihan, ataupun marah karena para kera tak tahu diri mulai mempertampan dan mempercantik diri mereka, sehinggap memberi mereka kutukan. Huh..Lucu. Pastinya, kera itu mendapat anugrah ataupun kutukan karena tiba-tiba diberi kemampuan memilih.

wieder zurrueck..

karena secara ilmiah saya termasuk manusia, mungkin juga evolusi dari kera(klau teori ini benar), maka saya dianugrahi(itu yg dibilang) kemampuan memilih pilihan.

Mungkin pilihan itu yang sering membuat hidup itu seperti tebak-tebakan garing. Jawabannya selalu tak terprediksi, tak disangka-sangka, dan sederhana.

Seperti sekarang, saya tak pernah memprediksikan "lawyer" adalah option yg terpilih, malah tidak jga memprediksi itu akan menjadi sebuah pilihan.

kata "doctor" yang seblumnya tak pernah lepas dri hasrat yang brubah menjadi sebuah cita-cita, kemudian obesesi, dalam sekejap hilang tak berbekas, hanya karena iklan iseng yg terlewat dalam khayal yg dipicu oleh sebuah tema pidato, “become a lawyer or a docter?”. Wunderbar!

Semua orang terkaget dan bertanya mengapa, saya tiba-tiba mengubah haluan. Pertanyaan itu slalu menghantui saya, membuat rasa malas untuk menjawabnya.

“Iy gw gk d stujuin bwt kuliah d jerman am kluarga besar(ini gk boong.), trus males kuliah kedokteran d Indonesia. Sayang.Jadi gw cobain aj hukum.”

“Adu..h itu panjang bgt critanya. Males gw nyeritainnya.”

“Gw kan punya banyak obsesi, nah ini tuh salah satunya supaya gw masih punya banyak waktu bwt ngejar obsesi yang laen.”

Itu adlah pilihan-pilihan jawaban yang slalu sya siapkan untuk menghadapi pertanyaan yang paling saya hindari, karena jawaban sebenarnya tak serumit itu, malah sangat sederhana. Terlalu sederhana sampai tidak rasional dan lucu.

Saya hanya mengikuti kata hati, tak ada alasan logic untuk menerangkannya. Hanya itu jawabannya. Sederhana.

Mngikuti kata hati dengan mencoba merasakannya dan mengikuti alurnya. Saya hanya mencoba mempercayai hati, karena hati terbiasa membaca pertanda. Berharap terjadinya mestakung. Mempercayai sesuatu bernama “maktub(klo blum tahu, baca buku paul coelho “the alchemist”).

Berat memang rasanya untuk mempercayai dan mengikuti hati. Karena mengikuti hati berarti meninggalkan seluruh pikiran rasional, hanya berusaha mempercayai sesuatu yang tidak berbentuk. Percaya bahwa Tuhan menyiapkan skenario yang indah. Maktub.

Saya pun tidak pernah menyesal dengan mimpi saya menjadi seorang dokter. Saya tidak kecewa pernah bermimpi seperti itu dan tidak juga menjadikanny alasan untuk berhenti bermimpi. Saya tetap seorang pemimpi yang tidak peduli apa mimpi itu akan menjadi kenyataan atau tidak, tapi saya akan terus berusaha bermimpi. Mempercayai hati, mempercayai terjadinya mestakung dan mempercayai maktub.

I believe God have a plan 4 me. . I believe in God.